Siluet Hidup


Hidup terasa indah justru ketika kita mampu keluar dari permainan yang penuh dengan resiko sebagai pemenang
Memanfaatkan waktu dan menikmatinya akan mendorong sang pemberani untuk tampil kemuka...apapun resikonya
Tidak ada satu gerakpun dimuka bumi ini tanpa resiko
Mereka yang mencoba menghindari resiko adalah manusia pengecut yang yang melawan fitrah alamiah

You will grow to love the wordly life and hate death







Sabtu, 28 Januari 2012

BERPANGKU SANDIWARA



            Segelintir contemplate dua sahabat mengenai karakter sahabat-sahabatnya dalam menempuh perjuangan hidup ditengah kota. Dunia cepat sekali berubah, gaya dan cara hidup,berpikir manusiapun terguncang-guncang mengikuti arus jaman. Ibarat kuda yang dipacu untuk berlari cepat, dia dicambuk terus-menerus, begitulah kehidupan kita jaman ini. Hmmmmm….seperti biasa jam istirahat waktu yang paling enak untuk bicara tentang kehidupan yang tengah kita jalani. Saat dua sahabat bicara tentang karakter sahabat-sahabatnya dalam satu kumpulan yang bernama  “KEJORA” itulah nama kumpulan yang telah mereka temukan untuk menguak perjalanan mereka yang belum jelas mau kemana.” Kang Agis kenapa ya…itu mas Ian memberi nama perkumpulan kita dengan nama Kejora….kok aku belum paham ya kang…? Tanya kholil pada lius sahabat nya.
                “yah…….ini hanya pendapatku lho…..kenapa kang agis memberi nama kejora….kamu tahu kan pa itu kejora.? “ yah aku tahu….kejora itu salah satu bintang yang bertengger dicakrawala,bintang yang paling terang diantara bintang-bintang yang lain…” jawab kholil.”lha itu kamu tahu lil..kenapa kang agis mengambil nama bintang itu untuk kelompok kita…..karena kita ingin menguak kabut yang selama ini ada didepan kita….yah hanya orang yang pandai menangkap semangat jaman, dia akan tegak menjadi pelita kehidupan.membaca, menganalisa dan membuat kesimpulan untuk kemudian merumuskan tujuan yang pasti sebagai landasan pijakan dan arah kemana kita pergi.”
Hmmmmmmm….tapi  aku tidak bisa menebak seperti apa karakter kang agis itu mas….tapi aku salut dengan karakter dia yang sulit ditebak…dia bisa bergabung dimana saja ya………
Lain halnya dengan aku lil….aku jika sudah benci sama orang ya langsung benci……yah itulah manusia karkter beda-beda ya………….
Jaman berubah dan segalanya terus mengalir ( everything is flowing ),begitu kata orang bijak.
Ungkapan ini bukan sesuatu yang asing bagi seorang muslim, karena dia telah dicelup dengan sibghoh ilahiyah untuk mampu mempersiapkan segala sesuatunya guna menatap masa depan.membenahi hari ini untuk menatap hari esok.
“Kenapa ada saja ya mas, orang yang selalu melihat flashback dan kurang memahami jalan depannya.”
“yah lil…..seperti tdk tahu saja sifat mereka.sejarah adalah mata rantai kehidupan, dan kita si anak jaman adalah bagian dari mata rantai tersebut.estafeta perjuangan dan memanusiakan diri merupakan visi dan misi untuk menghantarkan generasi yang akan lebih baik dan lebih baik lagi dari diri kiat lil….”
Aku hanya manggut-manggut dengan kata yang barusan  mas lius katakan.
Aku ingat kata kang agis beberapa waktu yang lalu bahwa dekorasi dunia telah berubah, mereka yang berperanpun telah berubah, maka siasat dan metode untuk mewujudkan cita-cita kitapun seharusnya mampu merubah siasat  seiring dengan selera jaman.walau demikian, adalah keyakinan kita bahwa scenario ILLAHIYAH tentu saja tak kenal berubah.
Tidak ada scenario yang jelek, yang jelek adalah manusianya, begitu pula tidak ada jaman atau peristiwa buruk, kecuali didalamnya terlibat, manusia-manusia yang berperilaku buruk.
Lantas, adakah kita telah menyimak waktu ? ataukah kita biarkan diri kita dilindas oleh kilasan waktu yang begitu cepat berlalu ?
Hmmmmmmmm…hidup terasa indah, justru ketika kita mampu keluar dari permainan yang penuh resiko sebagai pemenang.sebaliknya sang pengecut adalah mereka yang kehilangan arah dalam hidupnya, hilang semangat dan kemauannya, serta membiarkan waktu tanpa makna dengan meras tak berdosa sedikitpun.
Sang penegcut adalah tipe makhluk melata yang berambisi. Dirinya telah dipenjarakan oleh was-was dan diperbudak oleh rasa takut akan kegagalan

“HIDUP ADALAH PERJUANGAN DAN PENDERITAAN.KALAU TOH ENGKAU MENDAPATKAN KENIKMATAN,JANGANLAH TERLENA DAN TERPERANGKAP UNTUK MELUPAKAN FITRAH PERJUANGAN DAN PENDERITAANMU”


Sabtu, 21 Januari 2012

KENDURI CINTA ANAK JALANAN

Uuugh...

Siang memang selalu membuat debu-debu bergolak. Berbaur dengan angin kering dan panas, serta membawa aroma busuk dari got yang penuh jejalan sampah. Namun kaki kecil itu tetap melangkah dengan gembira, karena baginya jalanan bagaikan sebuah taman yang indah dan menyenangkan. Sesekali kaki telanjangnya menendang kerikil kecil. Mata menatap awas ke bawah, berharap ada uang koin yang terjatuh di jalanan.

Kulitnya hitam legam karena selalu bermandikan panas yang menyengat. Wajah dekil, dihiasi ingus yang meleleh dari hidungnya. Terkadang disekanya ingus itu dengan tangan, lalu digosokkan di celana pendek bulukan yang membungkus pahanya. Baju kaosnya compang-camping, tak mampu menyembunyikan tubuh yang penuh bekas korengan.

Sayup didengarnya hiruk-pikuk dari kejauhan, semakin dekat semakin jelas terdengar. Suara terompet, deru suara motor dan mobil, klakson yang bersahut-sahutan, gegap gempita memekakkan telinga. Laki-laki kecil itu kaget bukan kepalang, namun rasa ingin tahu membuatnya juga ikut berjubelan di pinggir jalan.

Dikucek-kucek matanya yang masih ada belekan, tak percaya dengan apa yang terpampang. Mobil dihiasi bunga-bunga, puluhan motor bersileweran, hingga becak-becak yang dipasang hiasan indah. Semua terlihat begitu semarak dan meriah, ditimpali suara dari beberapa megaphone yang meneriakkan yel-yel dukungan. Tampak pula banyak poster bergambar seseorang, serta spanduk beragam ukuran yang diusung mereka.

Peserta karnaval lalu melemparkan banyak bungkusan ke pinggir jalan, sambil mengajak penonton untuk ikut menirukan yel-yel mereka. Tak lama tubuh kecilnya gesit bergerak di sela keramaian, seraya tangan mengambil beberapa bungkusan yang tak sempat ditangkap orang dewasa.

Ia menjerit kegirangan, di tangannya tergenggam bungkusan-bungkusan kecil gula, teh dan kopi bergambar seseorang serta lambang sebuah partai. Begitu senangnya, hingga dengan suaranya yang jernih ia pun ikut-ikutan meneriakkan yel-yel dukungan, walaupun tak mengerti apa maksudnya.

Peserta karnaval perlahan-lahan menjauh dari pandangannya. Anak kecil itu meneruskan langkah, kembali berjalan dengan wajah yang semakin ceria karena di kantong celana penuh berisi bungkusan. Matanya tak lagi memandang ke bawah, tapi asyik melihat aneka bendera dan baleho yang dipasang di mana-mana. Kertas-kertas beraneka warna juga tak kalah banyaknya, di tempel di tiang listrik, kotak telepon umum, bahkan di pepohonan.

Ia benar-benar tak mengerti, ada apa hari ini. Tiba-tiba telinganya menangkap suara musik dangdut yang dibawa oleh angin. Laki-laki kecil itu pun berlari sekuat tenaga menuju sumber suara. Ia terperangah. Dilihatnya sebuah panggung besar di lapangan terbuka dan beberapa tenda yang dipasangi umbul-umbul dengan warna yang sama.

Suara musik yang berdentam-dentam menggoda dirinya untuk bergerak, menyempil di antara kerumunan orang hingga tiba di bagian depan. Kepalanya mendongak, dan di atas panggung terlihat seorang wanita yang berpakaian menyala, senada dengan warna umbul-umbul yang menghiasi tenda. Wanita itu meliuk-liukkan pinggulnya sambil bernyanyi, asyik berjoget ditemani beberapa orang laki-laki. Bahkan seseorang di antara mereka, laki-laki umuran dengan perut gendut, sesekali merangkul wanita yang terlihat genit itu.

Anak laki-laki itu pun berjoget bersama yang lain mengikuti irama dangdut. Ia begitu semangat, bertelanjang dada hingga tampak tulang rusuknya. Keringat bercucuran membasahi tubuh, membuat dirinya bertambah dekil dan lusuh.

Tak lama musikpun berhenti. Di atas panggung bapak yang berperut gendut itu terlihat berpidato, sambil melempar-lemparkan aneka rupa bungkusan yang bergambar dirinya dan sebuah partai. Orang ramai pun saling berebutan, tak lupa memuji dan menirukan yel-yel dukungan.

Tiba-tiba ia terkesiap, bapak itu menunjuk sambil memerintahkan beberapa satgas yang berpakaian ala tentara untuk membawanya ke atas panggung. Ia menurut saja, apalagi orang-orang bertepuk tangan dan berteriak-teriak membuat suasana seperti ada pesta. Bapak itu lalu menggendong tubuhnya yang kecil sambil berpidato dengan lantang bahwa partainya akan selalu membela kaum susah.

Ia meronta. Bau bapak itu busuk sekali, bahkan lebih busuk dari tumpukan sampah tempatnya bermain sehari-hari. Namun gendongan tak dilepaskan, bahkan dikeluarkannya beberapa lembar uang kertas bergambar Soekarno-Hatta, lalu diselipkan di kantong celana anak kecil itu seraya memamerkannya kepada orang ramai. Walaupun hatinya senang dikasih uang, tapi bau busuk tersebut membuatnya tak tahan. Syukurlah, tak lama bapak itu pun melepaskan gendongannya.

Anak kecil itu senang sekali, ia tertawa-tawa dengan gembira sambil melangkah pergi. Di kantongnya kini tidak hanya ada banyak bungkusan, tapi juga sejumlah uang. Baju kaosnya pun baru, walaupun tampak kebesaran. Di sebuah rumah makan ia berhenti, dan memesan beberapa bungkus nasi.

Malam itu, di sebuah rumah kardus yang bersebelahan dengan rel kereta api tampak ada kenduri. Mereka bahagia, makan dengan lauk daging dan ayam yang selama ini hanya pernah di angan-angan. Laki-laki kecil itu juga tak habis-habisnya bercerita, ia bangga bisa membelikan nasi bungkus untuk kenduri di keluarganya yang tercinta. Lalu mereka pun tertidur pulas dengan perut kenyang.


Wuah...!!!

Suara ribut tetangga kiri kanan membuatnya terbangun, dan tampak mereka berhamburan ke jalan. Anak kecil itu pun tak tahan sehingga juga ikut berjubelan. Matanya kembali berbinar senang, ada karnaval, pikirnya. Dilihatnya peserta karnaval banyak yang berbaju putih, bersih dan rapih. Tak ada lemparan rokok, gula, teh atau kopi, namun mereka terlihat tersenyum tulus menawan hati. Wajah mereka terlihat cerah bercahaya, bersemangat membawa perubahan.

Ia senang sekali, walaupun tahu malam ini mungkin di rumahnya tidak ada kenduri lagi.


RINGANKAN TANGANMU UNTUK BERBAGI RASA......
SERIBU UANG RECEH BUAT KITA SANGAT BERHARGA BAGI MEREKA....
LIFE IS BEAUTIFUL TO ALL...
NOT THAT YOUR NUMBERS WILL SMALL.IN FACT YOU WILL BE MUCH LARGER IN NUMBER....

Jumat, 20 Januari 2012

Resep Hidup Dalam Sambal Tomat

Asam.....rasa itu yang membuat sambal jadi special.. pedas....itu arti dari nama sambal.... cabe.bawang merah,bawang putih dan tomat....jadilah sebuah hidangan pedas yang menggugah selera.. bosan,benci,cinta,senang dan sedih teracik dalam tempayan jiwa... jika salah satu racikan tak ada hidup itu jadi kurang bermakna... LIFE IS BEAUTIFUL Tuhan…Kami semua fakir di hadapan MU tapi juga kikir dalam mengabdi kepada MU Semua makhlukMU meminta kepada MU dan pintaku…. Ampunilah aku dan sudara-saudaraku yang telah memberi arti dalam hidupku Sukseskanlah mereka mudahkanlah urusannya Mungkin tanpa kami sadari , kami pernah melanggar aturanMU Melanggar aturan qiyadah kami,bahkan terlena dan tak mau tahu akan amanah Yang telah Tuhan percayakan kepada kami…Ampunilah kami Pertemukan kami dalam syurga MU dalam bingkai kecintaan kepadaMU Tuhanku….Siangku tak selalu dalam iman yang teguh Malamku tak senantiasa dibasahi airmata taubat, Pagiku tak selalu terhias oleh dzikir pada MU Begitulah si lemah ini dalam upayanya yang sedikit Janganlah kau cabut nyawaku dalam keadaan lupa pada Mu 

SEPENGGAL CORETANKU UNTUK BELAJARA APA ITU HIDUP DAN UNTUK APA AKU HIDUP

IZINKAN AKU MENCIUM KAKIMU



    Ibu menerima dengan sabar dan tenang seolah tidak merasakan kejamnya hidup ini. Senyumannya yang membuat hatiku tenang dan gembira. Tutur katanya lembut tak pernah marah meski aku sebagai anak yang dibilang bandel dan sering melawan perkataanya. Aku anak nomer satu dan mempunyai empat adik yang semuany laki-laki. Sebagi sosok pengganti ayah dan ibu dirumahku, ibu berperan sebagai pahlawan tempat kami menyenderkan hidup. Sebagai pendidik, ibu sadar bahwa menjadi ibu dan ayah tidaklah gampang, apalagi semua anaknya laki-laki. Kadang ingat tentang Ayah, dalam mendidik dan mengembangkan wawasan, beliau sangat memperhatikan pembinaan mental spiritual anak-anaknya. Hmmm….diantaranya dengan memberikan cerita-cerita menarik yang sering disampaikan kepada anak-anaknya. Sayang Ayah meninggalkan kami disaat kami sangat haus dengan pengayomannya,didikannya dan nasehat-nasehatnya. Saat itu aku baru masuk kelas satu SMU dan adikku kelas 2 smp, 6 SD dan dua lagi belum sekolah. Oh….ayah betapa rindunya kami padamu saat kami menatap raut muka ibu. Didikan ibu pada kami hampir sama seperti ayah mendidik kami. Prinsip-prinsip hidup yang berpegang pada kebenaran selalu diutamakan, meskipun kami sering membangkang ibu selalu sabar mendidik kami. Ibu mengajarkan kami bahwa harga mempertahankan kebenaran di tengah masyarakat yang sangat pragmatis, cukup mahal. Bisa jadi, dalam mempertahankan kebenaran tersebut harus dibayar dengan isolasi sebagai masyarkat dilingkungan. Mungkin karena ibu sendirian mendidik kami. Oh ibu….kau harus sabar meghadapi penguasa yang terus menekan.
    Aku ingat saat aku sering berantem dengan adikku yang bernama Lius….kadang suka mengejek kalau lius bukan anak ibu, karena namanya yang aneh menurut kami. Lius Agustin partama….hmmm…nama yang menurut kami sangat aneh. Mungkin adikku yang satu ini agak pemarah, sekali marah bukan dengan kata-kata, tapi apapun benda yang ada didekatnya selalu dilempar atau langsung dipukulkan padaku. Yah namanya juga anak kecil,meski sampai menangis kencang, ibu tak pernah marah pada kami. Nasihat atau teguran-teguran ibu selalu disampaikan dengan bijak. Disamping itu, seringkali ibu menyampaikan nasihat-nasihat atas dasar ungkapan kata-kata bijak dari tokoh-tokoh dunia, itu menurut kami. Aku ingat saat sering membantah nasehat ibu.
“ eh…topic jangan biasakan makan didepan pintu ya…..nanti rizki seret.” Kata ibu padaku.
“ ibu sok tahu….apa hubungannya makan didepan pintu dengan rizki…dasar memang  orang tua.”
“ kok kamu bicara begitu sama ibu pik…!” bentak ibu.
“ lagian ibu ada-ada saja menghubungkan makan didepan pintu dengan rizki….dasar aneh.”balasku.
Dan langsung aku buang piring didepan pintu. Dan ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.
Aku diam beberapa hari pada ibu. Ibu selalu menatp wajahku dengan senyum.
Dengan senyum ibu itulah aku sedih, ibu saat ini pastialah sepi. Karena semua anak-anak ibu tidak bersama ibu sekarang. Kalau memikirkan hal itu, aku lantas merasa berdosa meninggalkan ibu. Aku harus meninggalkan ibu demi sepeser uang untuk mengubah kehidupanku. Aku harus berlayar jauh mengelilingi lautan biru. Sedangkan adikku lius menjelajahi kejamnya ibu kotanya Indonesia. Andi meski masih tinggal satu kota dengan ibu tapi jaraknya lumayan jauh dan dia harus setia membela negeri ini sebagai seorang polisi, totok ikut lius ke Jakarta dan sibungsu riki mencari ilmu dibandung. Ditengah lautan inilah mungkin Allah membuka hatiku. Saya sudah minta taubat pada Tuhan, semoga dosa saya diampuni. Aku mohon maaf pada ibu, aku tak tahu bagaimana keadaan ibu saat ini.
    Coba saja ibu dulu mau menikah lagi. Aku masih ingat enam bulan setelah Ayah meninggal. Orang yang bernama pak hendi mencoba mendekati ibu.
“ mbak eni wanita yang saya hormati,” katany waktu itu. Ulet dan serius .
“ saya maklum, ketika itu mbak eni menolak. Mungkin karena kuburan mas edi masih basah, tanah belum kering, dan hati duka belum hilang. Kini apa hati duka mbak eni masih membasah ? padahal tanahnya sudah kering ? saat itu ibu diam beberapa saat. Beliau menatap wajah pak hendi. Ia mengelakkan pandang, lalu berkata: “ kagum saya mbak eni mengatur kehidupan ini.”
“ makanya pak hendi cepat-cepat kawin deh,” kata ibu bergurau.
“ yah memang hampir terlambat. Tapi wanita pilihan saya harus wanita serius,” katanya.
“ banyak wanita serius pak “ kata ibu.
“ saya kira wanita yang serius itu, yang keibuan itu, adalah wanita yang pernah menderita dalam hidupnya,” kata pak hendi. Tapi ibu hanya berdiam diri, mungkin karena ada perasaan aneh dihatinya ketika itu,. Tanpa diduga ketika ibu menatap pak hendi, ia berkata pula: “ wanita itu haruslah seorang janda yang keibuan.”
Wajah ibu pucat seketika. Dan untuk menghindarinya ibu berkata: “ maaf pak aku belum masak buat anak-anakku.” Kata ibu sambil masuk. Dan aku langsung buru-buru lari, takut ibu takut aku mendengarkan perbincangan ibu dengan pak hendi kala itu.
Dan esoknya aku Tanya sama ibu.” Bu, apa ibu tidak ingin nikah lagi ..?” tanyaku.
“hmmm…..eh kamu pik….suami ibu Cuma satu….yaitu ayahmu…Muhamad Rafiq”
“ kenapa…..kamu pengen punya ayah lagi ya…?” Tanya ibu sambil tersenyum.
“ enggak bu…Cuma Tanya saja…apa ibu tidak kesepian..?”
“ kan ada kelima jagoanku….nak….”jawab ibu sambil mencubit sayang pipiku.
“ jangan merasa dibebani penderitaan nak,” katanya.
“ setiap penderitaan pasti ada maksud –maksud Tuhan kepada manusia.”
    Ohhhh..ibu mungkin kini kau merasa kesepian setelah ditinggal pergi kelima jagoanmu.
Betapa sunyinya dirimu. Oh…ibu makin terasa , perasaan-perasaan rindu mengoyak-ngoyak jiwaku.
Surat buat ibu.
“ oh ibunda sayang…aku masih ingat perkataan ibu waktu aku mau meninggalkan ibu.” Kapan ya ibu bisa mencium ka’bah.” Kata ibu waktu itu. Topic masih sangat ingat itu bu.semoga dengan kepulngan topic. Ibu bisa jalan-jalan dan menghirup aroma wangi dinegeri suci itu bu.Bu saya sudah minta taubat pada Tuhan. Agar dosa ku diampuni-Nya atas sikapku selama ini pada ibu. Siang malam aku selalu berdoa bu agar ibu sehat-sehat dalam lindungan Allah. aku  sedih pastilah ibu saat ini sangat sepi,karena anak-anak ibu tidak ada didekat ibu saat ini. Kalau memikirkan hal itu aku selalu merasa berdosa meninggalkan ibu. Aku akan bawa hadiah buat ibu. Aku  Saat ini sering menitikkan air mata jika teringat ibu. Bu tahun ini ibu mau kan pergi ketanah suci..? bulan depan aku pulang bu. Sekian dulu bu, kalau aku teruskan juga, hanya rintihan rindu belaka, dan kenangan masa lalu belaka yang akan akuungkapkan di surat ini.
    Sembah sujud ananda di kaki ibu,semoga kita semua mendapat surge karena mencintai ibu:
Putramu TOPIK RAFIQ.
Hari ini hari dimana aku akan bertemu ibu. Ijinkan  aku mencium kakimu ibu.

“kupandang potret yang lusuh ayah ibuku
Gagah dan cantiik, ayahku tercinta sudah almarhum
Kupandang potret keluarga
Kupandang raut wajahku
Menembus segala ceritera masa lalu, album lama aku buka, dan setiap gambar bercerita bukan bernostalgia, tetapi betapa jiwaku terpana
Waktu telah memburu dan mengukir hidup tanpa rencana
Segala serba mengalir dan bermuara pada satu nama yang sangat akrab tapi selalu lupa untuk disapa
Kematian!
Aku ingin menangkap gejolak batinmu
Tenggelam bersama impianmu tapi aku tak mampu
Bau keringatmu masih akrab
Mendekap
Tubuhmu ringkih
Pikiranmu putih
Pusara tanah kering
Matahari menyengat
Kini aku berdiri jiwaku ma’rifat dalam Doa
Ayah semoga kau selalu tersenyum disana
Setiap pusara adalah ceritera
Ada cinta, derita dan nestapa
Kumpulan pusara adalah kisah
Anak-anak manusia melepas lelah
Keluh kesah
Gelisah kemudian pasrah

“ SEPANGGUL CERITA DARI SAHABATKU, SEMOGA PERJALANAN HAJI IBUMU MABRUR DAN DOA IBUMU TERSIRAM DENGAN SEJUK DIPANGKUAN KUBUR AYAHMU





By: Yuda yudawan soubari

Kamis, 12 Januari 2012

BERLABUH DI ISTANA

Catatan kecil dari sahabat.................... Hmmm……..sekilas gerombolan manusia seolah datang ingin mengoyak kota Jakarta. Satu mei,mungkin sebuah hari kemenangan buruh yang ingin menyampaikan isi hatinya. Bisa dibilang demikian isi hatiku juga. Seolah lelah jiwa ini mendayun perahu tapi tak kunjung sampai didaratan. Mungkin inilah jiwa yang berontak,kemanakah kami akan dibawa wahai penguasa buruh ? kadang redup menatap jalan kedepan, tapi dengan optimis yang tinggi mungkin akan merubah segalanya. Tak terasa sudah hampir lima tahun jiwa ini berjuang untuk  memastikan dimanakah aku akan berlabuh. Kadang ingin rasanya kukepalkan genggaman tangan ini dan kutonjokkan pada rintangan yang menghadang, tapi kenapa selalu ragu untuk melampiaskannya, confuse orang barat bilang.     Malam ini aku butuh refreshing setelah seharian lelah menjamah isi ibu kota, agar semangat kerja tetap terjaga,pikirku. Entah jalan-jalan atau iseng-iseng menggoda anak gadis tetangga demi menghilangkan rasa penat yang menggelayut dipikiran. Aku sangat lelah dengan liku hidup ini. Bila kelelahan seperti ini biasanya aku mengajak temanku untuk merundingkan masa depan. Memang tidak semua orang yang gemar dengan kebiasaan kami, hanya beberapa orang saja dan salah satunya aku. Kadang dengan berkumpul,ada saja yang mencurigai kami, bikin gerombolan serikat tak jelaslah atau kumpulan yang mengusik mereka. Yah………… mungkin hanya dengan ini hati yang resah bisa hengkang walau sesaat. Aku tak menyangka kenapa aku bisa bergabung dengan serikat macam ini. Memang menurut sebagian orang yang punya kuasa ini sangat meresahkan dan mengganggu mereka. Tapi bagi kami ini adalah sebuah hak yang harus ditampilkan dihadapan mereka. Hak manusia yang tidak semestinya terinjak-injak dengan kaki mulus mereka dan dicaci dengan mulut yang katanya orang yang mempunyai wibawa. Bagiku kewibawaan mereka hanyalah memeras keringat yang seharusnya kami tampung untuk membasuh jiwa kami yang lelah.     Kawan yang memperkenalkanku tentang arti dari sebuah serikat adalah fakih, lengkapnya fakih liardi. Ia adalah seorang yang berpengalaman dan lincah juga tegas. Ia berbeda dengan orang-orang yang kukenal pada umumnya. Itu menurutku,tapi menurut orang lain aku tak tahu dan juga tak mau tahu. Terserahlah apa kata mereka tentang orang yang sangat kukenal ini.ketika aku bertanya apa arti dari kumpulan semacam ini yang bisa mengorbankan diri sendiri, ia menjawab ; untuk membela hak kita dan mengutarakan isi hati kita. Ia juga menceritakan bahwa kita tak seharusnya resah dengan diri kita bila kita bisa dan berani mengangkat hak-hak kita. Jawabannya sangat masuk akal. Sebab jika kita hanya menurut perintah orang yang punya kuasa kita akan semakin terjerumus dalam limbah yang tak berguna dan akhirnya akan dibuang begitu saja.     Aku masih diam. Keinginanku untuk refreshing kini berubah menjadi perasaan yang bagai tersayat-sayat. Perlahan mataku mulai terpejam dan tak terasa aku sudah memasuki samudra mimpi. Jiwa yang layu dan tertatih-tatih seolah sungkan untuk membuka mimpi yang harus aku pegang. Mimpi yang tak ada batas mulaii membangunkan jiwaku menjadi tegak dan tumbuh kembali penuh optimisme. Teringat sebait kalimat yang pernah diutarakan oleh guruku.” Engkau mengarungi samudera dunia, bukan untuk tenggelam terpikat oleh delusi fatamorgana. Kayuhlah biduk kehidupanmu, sebrangi samudera dunia untuk mencapai tujuanmu. Kerahkan seluruh potensimu untuk tetap survive dalam perjuangan menebus badai samudera, sesekali kamu boleh menyelam, tapi ingatlah ! tujuanmu bukan untuk mati karena tenggelam, tetapi tujuanmu yang hakiki adalah mencapai pantai kebahagiaan sebagai ultimate goal dari segala makna yang kamu berikan untuk kehidupanmu dan tujuanmu yang sesungguhnya.” Hmmmm……..sebait kalimat yang membuat optimis untuk mengahadapi masalah setelah kita berani melewati garis perjuangan. Kini aku duduk sambil menuangkan isi hatiku dan kucoretkan diatas lembaran putih untuk mengukir kalimat yang tersimpan dihati. Segalanya akan berjalan lancar jika kita mengikuti arus.kehancuran kepribadian akan terjadi, apabila terjadi paradoks,dimana malam hari kita gelisah dalam kehampaan batin, dan siang hari kita tersungkur sebagai budak yang kehilangan nyali dan dimensi batin.
    Saat kakiku mulai berani melangkah menuju gerbang istana, aku baru sadar inikah istana yang sesungguhnya atau hanya fatamorgana yang nyata ? kawanku yang memperkenalkanku dengan perkumpulan ini mengatakan.” Usman, kita harus berani melangkahkan kaki kita dan menepiskan fatamorgana yang akan mengganggu perjalanan kita menuju istana yang sesungguhnya.ini semuanya ada rangkainnya dengan masa kecil kita, bagaimana orang tua mempersiapkan generasii baru yang berani, generasi yang kuat dan mempunyai kesempatan yang sama untuk baik dan jelek, untuk menjadi pemenang atau pecundang, semuanya tergantung bagaimana lingkungan membentuk diri kita, dan lingkungan primer yang diinternalisasikan oleh kita sebagai manusia. Perkumpulan kita memang masih muda man, saya tahu masa muda adalah masa yang paling kritis. Setelah dewasa, maka factor lingkungan kerja( work condition,leadership style ) akan membentuk persepsi  diri yang baru sebagai modal dasar  diri kita mengembangkan caranya mengambil keputusan. Itulah sebabnya kawan, tidak ada rumus yang paling baik untuk saat ini, kecuali kita semua setiap individu mendai virus-virus yang menyebarkan gairah prestatif, mulai sekarang, bahkan seharusnya sejak kemarin.” “ Bagaimana man ? apakah kamu sudah pernah berpikir tentang ini ? Aku menganggukkan kepalaku.” Kamu benar mas, jika kita ingin mengetahui hak-hak kita, kita harus berani mengambil keputusan dan berani melangkah. “kapanpun aku siap mas.”jawabku dengan penuh semangat. “ kalau saya tidak siap dari sekarang kapan saya bisa menjawab tantangan zaman mas….he..he..he…” Dengan senyum tipis mas fakih menonjokkan kepalan tangannya dipunggungku. “ Kamu bisa saja man”     Sambil membolak-balikkan buku yang sudah berkali-kali aku baca, aku mencoretkan renungan yang mengganjal dipikiranku.kita hanya tahu potongan dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar.janagn terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.kalau kita melandaskan kesimpulan kita hanya pada apa yang terlihat, dunia akan terlihat begitu sempit dan tindakan-tindakan kita bakal terbatas hanya pada kesimpulan yang premature itu. Kalau kita mampu melihat lebih dalam, dunia akan terasa lebih luas, hidup akan terasa lebih mudah. Karena terdapat jutaan kemungkinan yang bisa disimpulkan dari setiap kejadian di dunia ini.terkadang apa yang terlihat oleh indera kita bukanlah apa yang benar-benar terjadi.huhhhhhhh………….sepenggal kalimat ini membuat gairah semangatku bangkit kembali. Aku teringat apa yang dikatakan mas fakih tempo hari……aku akan diajak belajar melangkah mengetahui arti perjuangan dalam mengangkat hak-hak jiwa yang tertindas.     Hari ini tanggal  30 April dan besok waktunya melangkahkan kaki ini untuk menginjak lantai istana yang katanya hasil karya rakyat. Mungkin malam ini malam yang paling sibuk yang harus dijalani untuk membuat schedule rencana maju membuka pintu istana. Seandainya bisa tetap tenang menghadapi keterpurukan bangsa ini, sebenarnya kita masih punya titik terang. Jangan tergoyahkan oleh hal-hal yang menyesatkan. Orang-orang sukses selalu melawan kekalahan dan kesengsaraan tanpa pernah kenal menyerah dan kecewa.hmmmm……impian  keberhasilan itu harus tetap tersimpan aman dalam pikiran, untuk menunggu saat yang tepat untuk diwujudkan, karena sebenarnya Indonesian adalah bangsa yang besar. Apakah kita bisa berlabuh diistana jika kita tak berani untuk membuka pintunya ? hanya semangat dari jiwa, jika kita ingin menyentuh pintunya. Sekilas ada pertanyaan yang timbul dari hati. Apakah aku akan menunda aktifitas di hari ini karena takut akan kedatangan hari esok, ataukah aku akan berbahagia menjalani hari ini karena impian akan indahnya hari esok ? Haruskah aku bersedih hari ini karena apa yang sudah terjadi pada masa lalu, padahal masa lalu sudah berlalu dan tidak akan bisa ditarik kembali. Apakah waktu aku bangun pagi, sudah bertekad untuk menggunakan waktu 24 jam yang telah diberikan Allah dengan perencanaan yang sebaik-baiknya ? Akankah aku mampu mengambil manfaat dari setiap rangkaian detik kehidupan ini ? Kapan aku akan mulai mengerjakannya ? sekarang ? Besok ? Minggu depan ? Atau hari ini ? Aku ingin terus bermimpi dan berusaha mewujudkan impian itu semaksimal mungkin. Tetap berpikir optimis meskipun seribu masalah menghadang.tetap percaya diri bahwa bisa menjadi lebih baik. sanggup melakukan sesuatu yang besar. Memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin untuk menggapai impian itu. Impian melabuhkan jiwa diistana dan memberikan tempat yang luang untuk semua.
By : Yuda yudawan

Sabtu, 07 Januari 2012

MY CERPEN ” SEPOTONG HATI UNTUK BAPAK “


Untuk yang belum dan yang akan mengalami
untuk berbuat lebih baik dan lebih baik kepada sang ayah
ketika ayah akan pergi
kita boleh bersedih dan boleh menangisi
kita jauhkan diri dari meratapi

ketika kita bersama
tidak  pernah ada waktu untuk saling menyatu
dalam pikir
dalam cinta
dalam duka
Ayah aku tak mampu
melukis gambaran ditimu
maafkanlah !

        Pagi telah bangun dari tidurnya. sang mentaripun mulai merangkak pertanda sang dewi malam telah pergi. Kabut tebal yang menyelimuti pagi perlahan mulai hilang. cakrawala biru yang membentang luas tetap setia memayungi bumi. Sinar suryapun mulai menghangatkan bumi menggugah makhluk Allah untuk memulai aktifitasnya kembali. Pohon sengon yang berjajar rapi disepanjang jalan menambah kesegaran hidup. angin yang bertiup menambah sejuknya hari dengan diiringi nyanyian burung menambah kerinduan para perantau yang ingin kembali.

Jatara atau singkatan dari jambon utara. Pasara prambanan dikabupaten sleman seakan makin ramai dan tak pernah mati.semyum ramah para penduduk dan kehidupan yang religious semakin menambah kerinduannya hati ini.aktifitas penduduk yang tiada henti seolah tak kenal lelah melawan hari. Letaknya yang tak begitu jauh dari jantung kabupaten membuatnya selalu ramai dari aktifitas. Perdagangan yang semakin hiruk pikuk dari hari kehari seiring dengan perkembangan sebuah kabupaten kecil yang miskin akan sumber daya, tetapi tetap kaya akan kebersahajaan penduduknya. Berhartakan bukit dan gunung berapi yang selalu gagah dipandang mata dan akan membuat geger penduduk kala sedang mengeluarkan lelehan lava panas dan mengepulkan awan panas atau yang sering disebut wedus gembel. Begitulah penduduk jambon menyebutnya, serta kali gendol yang menjadi lahan emas para penduduk untuk mengeruk harta kekayaan yaitu pasir hitam yang sangat bagus untuk bahan material bangunan.

Sepuluh tahun. Butuh waktu selama itu untuk menjejakkan kakiku kembali didesa kelahiran sekaligus kebanggaanku. Sebuah perjalanan panjang untuk mencari jati diri yang hakiki. Mencari sebuah cita-cita dan menjadi manusia yang berharga. Tak sekedar lahir, besar dan mati disebuah dusun bernama jambon. Aku tak ingin menjadi manusia manja dan tak maju. Sebuah keinginan yang kuat untuk maju bagi seorang remaja berusia tujuh belas tahun kala itu. Berawal dari keributan antara aku dan bapakku, aku memutuskan untuk pergi dari desa kecil ini. Bapakku terlalu disiplin dan tidak pernah memberikan kebebasan bagi bagi anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Itulah yang mendorong keinginanku untuk meninggalkan rumah ini. Bisa dikatakan harus selalu menuruti kata-kata bapak. “makan nggak makan yang penting kumpul “ itulah semboyan hidup orang tua zaman dulu yang selalu aku tentang. Semua kakakku rela tinggal di kampong kecil ini dan entah apa yang akan terjadi dengan masa depan mereka. Mereka lebih memilih menuruti kata-kata bapak dan rela melepaskan cita-cita mereka.

“kamu ini mau apa, selalu menentang kata-kata bapakmu ini!”. Bentak bapakku kala itu.

“Pak, aku harus pergi, aku tidak mau menjadi manusia yang kurang dihargai dan hidup miskin tanpa masa depan yang jelas. Percuma pak, aku sekolah kalau aku tak bisa mencapai cita-cita yang kuinginkan!” balasku tak kalah kerasnya.

“o……oh jadi sekarang kamu sudah berani menenang kata-kata orang tua,kamu sudah bisa mengatur hidupmu sendiri tanpa bantuan orang tuamu lagi? Terserah sekarang kamu mau pergi kemana, ya sudah pergi sana dan jangan pernah kamu menginjakkan kakimu untuk kembali kerumah ini lagi, cari apa yang kau sebut dengan cita-cita. Dasar anak tak tau diri! Bentak bapakkau yang kali ini lebih keras.

Bagai disambar petir jiwa ini  mendengar kata-kata bapak barusan. Ibuku hanya membisu dan minitikan air mata melihat pertengkaran kami. Beliau tak berani melerai kami, karena ibuku sangat patuh pada bapak.

“ Iya pak aku tak akan pernah maju kalau aku harus tetap tinggal di desa kecil ini. Kalau bapak maunya itu, iya pak aku tak akan menginjakkan kakiku lagi kerumah ini sebelum aku buktikan kata –kataku, aku tak mau menuruti tradisi kolot yang hanya mengekang jiwa ini untuk maju.”

Plak…plak… 2 kali bapak menampar wajahku dan tanpa mengucap sepatah katapun aku lalu meninggalkan bapak menuju kamar dan langsung mengemasi barang-barangku. Kulihat bapak sedikit menyesal dengan menamparku terlihat dari raut wajahnya.

Aku tetap memutuskan untuk pergi, walau semua menentang. Semua marah dan menangis dengan perlakuanku kala itu. Tak ada yang berani menentang bapak selain aku.

Tuhanku
Sungguh telah Engkau lihat
Bahwa aku datang kepada-Mu
hanya karena pengharapan.
Berpegang pada rumbai dan ujung-ujung tali
pengampunan-Mu
Ketika dosa-dosaku telah mengusirku
dari rumah kedamaian
Tuhanku
Aku mengetuk pada pintu rahmat-Mu
dengan tangan harapku
lari kepada-Mu mencari perlindungan
dari hawa nafsuku yang berlebihan
Untuk menaruh jari-jari cintaku ke ujung tali-tali-Mu
maka ampunilah dosaku, dari segala kesombongan
dan kekeliruan yang telah ku perbuat

“Ya Allah… durhakakah aku ini ya Allah. Tak terasa butiran air mataku tumpah tak terbendung saat aku berpamitan dengan ibuku. Ibu yang selalu sabar merawatku dan aku belum bisa membalas jasa-jasanya. Semua kakakku diam bagai patung termasuk adikku saat aku berpamitan dengan mereka.betapa nekadnya diriku ini. Bapak hanya diam dan matanya berkaca-kaca menatap wajahku.

“ Pak… Joko mohon diri pak. Aku ingin membuktikan perkataanku dan aku tak akan kembali sebelum berhasil.” Bapak memalingkan muka seolah tak merestui kepergianku

“Bu… aku mohon diri, doakan anakmu agar berhasil  dan supaya aku bisa membalas semua pengorbananmu bu”. Ibu hanya  bisa menitikan air mata.

“Apakah kamu sudah memikirkan masak-maska nak, untuk meninggalkan rumah ini?”sambil menahan tangis ibu menyelipkan beberapa lembar uang yang telah lusuh disaku jaketku.

“Ibu selalu berdoa nak, semoga engkau kembali secepatnya dan membawa segala mimpimu”

Bapakku tak mengucapkan sepatah katapun dengan kepergianku, hanya diam membisu.

Ah Bapak bapaimana kabarmu sekarang?

Tiba-tiba lamunanku buyar ketika seorang tukang ojek menepuk bahuku, masih belum terlalu siang memang jam ditanganku baru menunjukkan pukul enam pagi. Jadi angkutan umum belum beroperasi diwaktu sepagi itu, biasanya angkutan baru beroperasi pukul tujuh. Aku tak menghiraukan tukang ojek itu. Aku masih ingin menikmati suasana pagi dengan memandang kemegahan canri prambanan yang menjadi kebanggaan kota ini.

“Mas…Mas.. mau kemana? Ayo naik ojek saya saja” kata tukang ojek itu sambil menarik-narik tanganku, aku hanya tersenyum kecil, segera tukang ojek yang lain bergerombol mengerumuniku adalah hal yang biasa setiap pendatang memang selalu jadi incaran meraka. Lumayan bisa untuk menambah enghasilan, semua berebutan menarikku, ada yang menarik tasku, ada juga yang menarik baju dan tanganku, pokoknya sekenanyalah.

“tahan emosi… jangan marah, bisik  batinku”

“kulo bade wonten jambon, pinten nggih?” tawarku pada mereka’

“Selawe ewu nggih, niku sampun mirah banget lho mas?” Sahut salah  dari satu mereka

“yo ampun larang-larang to mas, kulo tiang mriki lho.” Aku langsung keluarkan jurus mautku, kalau aku bilang asli sini biasanya harganya akan lebih murah.

“Gangsalswelas ewu nggih  mas?” jawabnya lagi

|”Kuwi tekan Jambon to mas?” tanya aku lagi

“Nggih…! Ngarep omah.” Kata tukang ojek itu menyakinkanku. Aku sedikit kaget dan langsung mengangguk kalau naik angkot mungkin tak sampai segitu.

“Ya ngak papalah itung-itung bagi-bagi rejeki.” Bisik hatiku.

Sepuluh tahun yang lalu, angkot tak bisa menembus desa kecilku yang luar biasa sepi karena masih banyaknya pohon-pohon besar berdiri gagah dipinggir jalan yang membuat bulu kudukku berdiri kala melewatinya. Adalah hal yang mustahil yang bisa diimpikan kalau ada angkot yang lewat.tak pernah kubayangkan dusun kecil ini telah maju pesat oleh sentuhan modernisasi.

Ah… bapak seandainya dulu dusun kita bisa dilewati oleh kendaraan, kau mungkin tak susah payah mengantar dagangan ibu dengan berjalan kaki. Kau memikul berpuluh kilo sayuran dipundakmu. Dengan kaki gemetar karena beban yang kau pikul begitu berat tanpa alas kaki kau menembus sunyinya jalan dengan pohon-pohon seram dipinggirnya. Jalan yang terjal, sempit berbatu dan akan semakin licin bila hujan datang. Kau tempuh dengan berjam-jam untuk mencapai pasar Prambanan. Semua hanya demi sesuap nasi untuk membesarkan anak-anakmu di tengah pergumulah hidup keras dengan segala keterbatasan sebuah desa miskin. Namun semua itu tak pernah melunturkan tekadmu untuk jadi pohon tempat kami semuanya menyandarkan nafas hidup kami. Aku hampir sampai di desa kelahiranku.

“Mas pegangan yang kuat yam as, di depan jalannya agak sedikit terjal dan manajak.” Kata tukang ojek itu memperingatkanku. Segera aku pegangan tubuh tukang ojek itu dengan erat.

“Ya Allah lindungilah kami, jangan kau jemput dulu jiwaku sebelum kutatap sosok gagah yang selama bertahun-tahun ini jadi sandaran dan panutan hidupku walau hubungan kami kurang harmonis.

Tiba-tiba ojek yang aku naiki mogok dijalan. Tak urung motor yang sedang menaiki tanjakan itu terseret mundur. Aku hampir terjatuh dan taskupun terlempar ke jalan.

“Astaghfirullah…” teriakku, segera tukang ojek itu mengerem motornya dengan kuat-kuat. Hampir saja masuk kali, kataku dalam hati. Tapi Alhamdulillah remnya masih pakem. Dengan sekatan aku meloncat dan menahan motor itu. Ahhhh.,.. aku menarik nafas lega. Allah Maha Besar, sungguh. Segera tukang ojek itu berhenti dan memeriksa motornya.

“Kenapa mas motornya?” tanyaku

“Mungkin businya kotor kali mas” jawab tukang ojek itu.

“Tunggu sebentar yam as, biar kuperiksa dulu motornya.” Kata tukang ojek itu memperbaiki motornya sambil memandang sekeliling jalan yang penuh dengan rimbunan pohon bamboo. Aku agak sedikit merinding karena motornya mogok tepat didepan kuburan. Tak berapa lama tukang ojek itu memanggilku.

“Ayo mas sudah betul nih motornya.” Kata tukang ojek itu.

“Oh … ya mas” jawabku

Motor bergerak lamban munuju desa Joholanang dan setelah melaju beberaa menit ojek itu bergerak memasuki desa Pandean.

Di desa Pandean inilah dulu satu-satunya terletak SD disekitar daerahku. Agak jauh memang dari desaku. Tapi aku dulu sekolah SD ini dengan berjalan kaki. Aku termasuk anak yang paling ngotot untuk tetap sekolah, walaupun agak ada sedikit tentangan dari orang tuaku. Tapi aku tetap nekad.

Yah… dengan keterbatasan yang harus ku telan. Maklumlah untuk makan saja sering kesusahan. Tak jarang kami makan nasi sekali dalam sehari. Tak ernah ada cukup sisa tenaga untuk memikirkan sekolah. Aku berangkat setelah sholat subuh dalam keadaan pagi yang masih gulita dank abut tebal yang menyelimuti pagi, berbekal obor bamboo dna baru pulanh kembali jam tiga sore, itupun aku harus mencari buah melinjo terlebih dahulku untuk dijual ke pasar demi kelangsungan sekolahku.

Tanpa kusadari ojek sudah samau di depan rumah. “Bapak… Ibu… Joko pulang.” rumahku sudah banyak berubah, pohon jambu air yang sering aku panjat dulu sudah berganti dengan pohon rambutan, bilik bambu sudah berganti tembok semen. Haluan rumah pun sudah berubah, bahkan ada kolam ikan didepan rumahku. Orang-orang desa yang kebetulan lewat manatap heran padaku.

Dari dalam muncul wanita berkebaya dengan rambut hampir semuanya memituh dengan guratan-guratan yang ada diwajahnya menandakan bahwa usianya sudah menua, itulah ibuku. Beliau masih kelihatan cantik walau uban telah menghiasi kepalanya. Wajahnya yang selalu tenang dengan khasnya yang tak pernah kulupakan. Wanita tegar yang telah berjuang bersama baak membesarkan anak-anaknya. Beliaulah ibuku yang menawan. Aku langsung berlari menubruk tubuh ibuku. Tak kuhiraukan rasa penat dan lelah yang menghajar tubuhku. Tak bisa kulikiskan perasaan bahagiaku.

“Joko… Joko itu kamu to Le?” kata ibuku dengan penuh rasa haru. “Akhirnya kamu pulang juga, ibu kangen banget Le sama kamu.”

Air matanya tak terbendung lagi menahan kerinduan sambil memelukku.

“Maafkan Joko Bu… Joko salah.” Ibu semakin erat memelukku, membelaiku dan manatapku lama.

“Kamu sudah banyak berubah Le.” Sambil menuntunku masuk ke rumah. Sampai di dalam kuperhatikan seisi rumahku dan aku agak sedikit kaget ketika melihat anak kecil sedang bermain. Rupanya ibuku sudah bisa menebak pikiranku.

“Kamu heran ya?” tanya ibuku dan aku hanya  mengangguk. “itu Kelik anaknya mbakyumu dan kalau yang satunya Anto anaknya masmu. Kamu ingatkan Anto yang sering kamu gendong dulu.”

“Astaga… sudah sebesar ini Anto. Kalau yang satunya siapa Bu?” tanyaku.

“Kalau yang satu itu Tutik anaknya adikmu Surti.”

“Ya Allah Surti sudah nikah Bu?” tanyaku heran

Aku memang pantas hean, kerana selama sepuluh tahun tahun ini aku tak pernah berhubungan dengan keluargaku, aku jadi malu sudah setua ini belum juga nikah.

“Lha kalau istrimu mana Le?”tanya ibuku.

“Istri dari mana BU.. calon saja belum punya.” Jawabku malu

“Bapak?” Aku bertanya singkat

“Bapak mana Bu?” tanyaku lagi

“Bapakmu masih di musola le”

Semenjak kepergianmu bapakmu banyak berubah. Dia jadi sangat lama kalau lagi di mushola, mungkin merasa bersalah kali ya le? Tanya ibuku. Aku diam tak menjawab.

“Habis dari mushola biasanya bapakmu langsung ke sawah lihat tanaman di sana.” Ibuku menjelaskan.

“Bapak sekarang masih suka nyari pasir Bu? Tanyaku lagi.

“Lha iyalah Le, mau usaha apa lagi lha wong Cuma itu yang bisa dicari.” Ucap ibuku lirih sambil memijit-mijitku. Kata-kata ibuku seolah menampar batinku. “sudah setua ini bapak masih menggali pasir, selama ini kemana saja aku ini?” membiarkan bapakku yang sudah renta menggali pasir berusaha mencari makan sendiri.

“Sholat dhuha dulu Le, makan lalu menyusul bapakmu ke sawah.”

Ibuku lalu menyuruh adikku mengangkat tas bawaanku, dengan wajah kesal ia turuti saja perintah ibu. Adikku ini memang paling karah ketika aku pergi. Walay kala itu dia masih muda dan belum mengerti apa-apa.

“Maafkan aku Surti.” Kata dalam hatiku.

Selesai sholat aku langsung bergegas berangkat ke sawah menyusul bapakku. Sebuah sawah kecil yangh menjadi tumpuan hidup keluarga kami. Dimataku bapak memang tipe orang yang suka bekerja keras. Bahkan terlalu keras. Bapak seolah tak pernah memperdulikan pada tubuh dan kesehatannya. Bahkan dalam keadaan sakitpun beliau teta berusaha untuk bekerja. Dalam pikirannya keluargaku harus hidup. Walau untuk itu bapak harus bekerja keras diluar batas kemampuan tubuhnya. Pergi subuh pulang malam, begitulah yang aku saksikan sampai aku berumur tujuh belas tahun. Perjalanan sawah dari rumah bisa bapak tempuh dalam lima belas menit. Berjalan tanpa alas kaki, bapak jarang istirahat, satu pekerjaan selesai langsung mengerjakan pekerjaan yang lain. Sebuah rutinitas melelahkan yang mungkin bagi sebagaian orang tak sanggup menjalankannya selama beruluh-puluh tahun.

Ketika sampai disawah kulihat bapak sedang mengerjakan sholat dhuha dengan khusuknya. Seletihdan sesibuk apapun bapak tak pernah lupa pada Sang Maha Pencipta. Hanya pada saat ini bisa kulihat wajah bapak yang tenang.

Ah… Bapak. Joko tak pernah berhenti mengagumi bapak. Bapak yang begitu teguh dengan pendirian dan bapak yang begitu disiplin. Setelah bapak selesai sholat, aku lalu bergegas menghampiri beliau walau agak ragu apakah bapak masih mau memaafkanku. Aku langsung mencium tangan beliau dan bersimpuh dikakinya aku hanya bisa menangis.

“Pak… maafkan Joko Pak.” Kataku sambil terisah menahan tangis. Tangan bapak yang dulu kekar kini lemah dan ada goresan luka di sana sini. Begitu ketengadakan kepala, kulihat kelopak mata bapak tergenang air mata. Bapak yang setahuku tegar, yang selalu menyimpan letihnya sendiri, yang tak pernah mengeluh, yang selalu tabah dalam hidup walau sangat sulit sekalipun. Kini menangis.

“Bapak mau marah lagi sama Joko mau tampar Joko atau entah apapun yang ingin bapak lakukan, silahkan Pak,Joko ikhlas Pak.”

Aku menghiba agar bapak bisa menumpahkan kemarahannya yang sudah beliau pendam selama bertahun-tahun.

“Bapak tahu Le, kamu pasti kembali, maafkan bapak juga ya le, yang dulu pernah mengusir kamu. Bapak menyesal Le.” Katanya sambil terisak.

Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan dan tak bisa terlukiskan. Kuperhatikan bapak dengan seksama. Rambutnya yang dulu hitam lebat kini berubah putih, bahunya yang dulu tegap kini terbungkuk. Tubuhnya yang dulu kekar kini ringkih. Bapak, betapa sudah terlalu rentanya bapak diusianya yang sudah separuh abad lebih, begitu banyak derita yang terlukiskan diguratan-guratan wajahmu.

“Bapak kenapa nggak marah sama Joko Pak?” tanyaku heran.

“Bapak sudah tidak berhak marah le, hidupmu , kamu sendiri yang memperjuangkannya, bapak hanya punya tugas membesarkanmu. Kamju selamat dan bisa pulang walau dengan atau tanpa cita-citamu bapak sudah senang le. Bapak lalu memelukku dan membelai rambutku.

“le… Bapak sudah dapat cucu berapa?” tanya bapakku.

“Joko belum kawin Pak, nunggu bisa tegak dan mendapat restu dari Bapak.”

Aku tersenyum sambil mengusap sisa air mataku. Bapak sedikit kaget.

“Bapak… Joko pulang dengan membawa mimi Joko yang pernah Joko janjikan dulu.” Kataku sambil menjejeri duduk bapak.

“mimpi apa?” tanya bapak heran.

“Bapak dan ibukan dulu pernah bilang kalau ingin sekali menginjakkan kaki ke tanah suci, sebelum ajal menjelang?” kataku sambil tersenyum. Bapak sedikit kaget.

“Joko di Jakarta usaha kecil-kecilan Pak. Yah lumayan Joko bisa menabung walaupun sedikit.

“Nanti Bapak pergi melihat Kakbah sama ibu ya Pak.

Bapak hanya bisa bengong dan air matanya tumpah kembali mendengar perkataanku barusan. Lalu aku diperluknya erat dan mengatakan betapa bahagianya beliau.

“Sungguh Pak ini tetap tak bisa menebus kesalahan anakmu yang telah menelantarkanmu selama bertahun-tahun. Bapak yang dulu berkorban demi apa saja untuk keluarga.

“Joko anakmu dengan atau tanpa apapun., bapak akan tetap memaafkanmu le, kamu benar kamu membuktikan mimpimu. Bapak sangat bangga padamu le. Kata bapakku sambil terisak.

Bagiku bapak adalah pahlawan yang paling nyata dalam hidupku walaupun dalam keadaan apapun. “Pak sekali lagi maafkan anakmu Pak. Andai hati ini bisa kupotong, aku akan mempersembahakan padamu demi kesalahanku.

air mataku untukmu Bapak

Sabtu, 31 Desember 2011

Siluet Hidup: Jiwa Ditengah Malam

Siluet Hidup: Jiwa Ditengah Malam: Pandanglah hamparan sawah padi yang menghijau. Padi yang tertiup oleh semilir angin. Petani yang menabur benih dengan harapan a...
Read more: http://yudayudawan.blogspot.com/2011/08/blog-widget-burung-terbang-twitter.html#ixzz1k3TQagZu